Tuesday, April 26, 2016

Wisata Sejarah ke Yogyakarta

Foto: Dok.Pribadi


Yogyakarta, sebagai pusat kebudayaan Jawa dan juga terkenal dengan sebutan kota pelajar. Yogyakarta, atau sering disingkat dengan ‘Yogya’ saja,  dikenal karena perannya yang besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.Bicara Yogyakarta, berarti bicara tradisi sebagai kota tua yang masih menjaga seni dan budaya Jawa hingga kini. Yogyakarta terletak dalam apitan simbol mistis sangat kuat, yaitu Gunung Merapi dan Samudera Hindia. Menjadi salah satu kerajaan di Pulau Jawa yang hingga sekarang masih meninggalkan peninggalan kuno tetap terjaga dan lestari, salah satunya keraton.Keraton Yogyakarta terletak di pusat Kota Yogyakarta. Konon, sebelum keraton didirikan, tempat itu merupakan rawa bernama Umbul Pacetokan yang terdapat di dalam hutan beringin. Pangeran Mangkubumi lantas membangun sebuah pesanggrahan di tempat itu yang diberi nama Ayodya. Menurut sejarah, Kesultanan Yogyakarta sebagai pecahan dari kerajaan Mataram yang mencapai puncak gemilang di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645). Akan tetapi, nuansa politik yang begitu kental di lingkungan kerajaan, mengakibatkan Kerajaan Mataram terpecah. Di pertengahan abad ke-18, Mataram mengalami peperangan perebutan takhta hingga tiga kali. Hal itu mengakibatkan pecahnya kerajaan.

Benteng Vredeburg
Berdiri  Damai di Tengah Keramaian


Benteng Vredeburg Yogyakarta
Foto: Dok Pribadi


Bangunan ini tepat berada di seberang Gedung Agung (Istana Kepresidenan) dan kantor pos pusat Yogyakarta.  Berada di Jalan Ahmad Yani sederetan dengan Jalan Malioboro. Sebagai bangunan yang menjadi salah satu wisata arsitektur di kawasan nol kilometer. Dahulu kala, bangunan ini dikenal dengan nama Rusternburg (peristirahatan) yang dibangun pada 1760. Terlihat megah dan kokoh berdiri. Pertama kali, bangunan itu diusulkan oleh Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch. Alasannnya tak lain untuk menjaga keamanan dan stabilitas pemerintah Sultan Hamengku Buwono I. Untuk  mendapat persetujuan Sultan, Belanda harus menunggu  waktu relatif lama, 5 tahun dalam menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Untuk membuat benteng tersebut, pihak Belanda memakai arsitek yang terkenal di zamannya, yaitu Frans Haak. Setelah pembangunan benteng selesai, maka benteng yang baru itu dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian.

Jalan Malioboro



Jalan Malioboro di malam hari.
Foto: Dok Pribadi

Kawasan Malioboro termasuk kawasan kota tua di Yogyakarta.  Jalan Malioboro menyambung ke arah Jalan Ahmad Yani yang juga dianggap sebagai Jalan Malioboro. Banyak bertebaran toko-toko cinderamata dan pedagang kaki lima  memenuhi sisi jalan itu. Jalan itu diambil dari nama Duke of Malborough sebagai jalan utama yang membelah kota Yogya. Letaknya memanjang dari utara hingga selatan, mulai dari stasiun kereta api hingga keraton yang terletak di ujung jalan.Saat malam tiba, kawasan itu banyak dipadati turis lokal maupun mancanegara. Mereka menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sepanjang kawasan, nongkrong di kafe-kafe sekitar kawasan. Hal yang tidak dapat ditinggalkan para pelancong begitu saja adalah berfoto tepat di ujung jalan Malioboro yang bertuliskan, ‘Jalan Malioboro’.

Kemilau KotaGede
Kotagede, kota yang identik dengan kerajinan perak, merupakan salah satu kota tua di Yogyakarta. Meski kini para perajin perak mulai berkurang, perak menjadi penyemangat warga yang penuh dinamika dan egaliter. 


Kota Gede terkenal dengan kerajinan perak bakar
Foto: Dok. Pribadi


Transformasi sosial membuat karya budaya bernilai seni tinggi itu dari semula hanya sebagai peranti kerajaan, kini menjadi komoditas perniagaan masyarakat kebanyakan.BicaraKotagede, tentu tak lepas dari sejarah Kotagede itu sendiri yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke-16. Ketika itu, Panembahan Senopati sebagai penguasa Kerajaan Mataram di Kotagede, meminta para ahli kriya membuat kerajinan dari bahan baku berupa perak. Awalnya, hanya untuk keperluan kerajaan saja. Berbentuk mulai dari perabotan rumah tangga, perabotan untuk upacara seperti pinggan, nampan, juga cawan hingga perhiasan seperti gelang, cincin, anting, dan sebagainya.


Museum Sonobudoyo


Museum Sonobudoyo, menjadi salah satu
tempat favorit wisatawan, baik mancanegara
maupun domestik.
Foto: Dok. Pribadi

Di tempat ini, begitu banyak benda-benda bernilai sejarah tinggi. Benda-benda yang memiliki makna etnologi dan arkeologi itu tersimpan rapi di Museum Sonobudoyo. Benda-benda tersebut berasal dari Cirebon, Jawa Tengah, Madura, Jawa Timur, Lombok, juga Bali. Di museum ini juga terdapat perpustakaan dengan beragam koleksi buku mengenai budaya Jawa. Jika kita masuk lebih ke dalam, terdapat peninggalan beragam jenis topeng, wayang, gamelan, senjata kuno, peti kubur batu, dan sebagainya. Letaknya di sebelah utara alun-alun Yogyakarta. Ketika hendak masuk ke dalam, di bagian sebelah kanan gedung terdapat beragam jenis arca dan batu-batu prasasti zaman dahulu. Ada arca Dewa Syiwa, Arca Ganeca, Arca Singa, dan lain-lainnya. Semua terkumpul dalam satu area.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII meresmikan penggunaan tempat itu pada 1935.


Pasar Beringharjo


Pasar Beringharjo, tempat perputaran ekonomi Yogyakarta
Foto: Dok. Pribadi

Pasar Beringharjo telah menjadi sentra kegiatan ekonomi sejak berdirinya Keraton Yogyakarta selama ratusan tahun silam. Adanya pasar itu punya makna filosofis tersendiri. Menjadi salah satu pilar catur tunggal  selain Keraton, Alun-alun, Masjid Agung, dan Pasar Beringharjo sendiri. Awalnya, pasar ini berupa hutan beringin. Setelah tiga tahun Perjanjian Giyanti ditandatangani, mulailah tempat itu menjadi kegiatan ekonomi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Didirikan pada 1925, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri yang memberikan nama dengan arti ‘kesejahteraan’ itu. 

Puro Pakualaman


Puro Pakualaman
Foto: Dok Pribadi

Puro Pakualaman merupakan bangunan ke-empat keraton di Kerajaan Mataram. Bentuknya lebih kecil dari Keraton Yogya, terletak di Jalan Sultan Agung. Ketika Inggris berkuasa di Indonesia, Stamford Raffless sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816) membagi kerajaan Yogyakarta menjadi dua pada 1813, yaitu Keraton Kesultanan Hamengku Buwono dan Puro Pakualaman, terletak di sebelah timur Keraton Yogyakarta dengan Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Puro Pakualaman juga menghadap ke arah Selatan yang melambangkan penghormatan kepada keraton utama. Puro Pakualaman ini dibagi tiga bagian utama dengan penataan yang berderetan yaitu pendopo, paviliun, dan museum keluarga. Pertunjukan gamelan dan peragaan busana sering dilakukan di Pendopo yang punya halaman luas. Di sebelah kanan Pendopo terdapat paviliun yang  punya arsitektur bergaya Eropa dengan dikelilingi taman indah. Museum keraton memiliki koleksi barang-barang peninggalan kerajaan termasuk kereta kerajaan. Pada hari Selasa, Kamis, dan Minggu keraton dibuka untuk umum mulai pukul 9.30 hingga 13.3. WIB.


Taman Sari


Taman Sari, dulu
dipakai untuk pemandian selir raja
Foto: Dok. Pribadi.


Dahulu kala, Taman Sari dipergunakan sebagai tempat pemandian kerabat kerajaan. Taman sari memiliki arti, yaitu taman yang indah dan berbau harum. Dulunya, Taman Sari merupakan tempat yang sangat rahasia sebagai bagian dari keraton. Bentuknya seperti taman air dengan banyak saluran air dan pepohonan berbunga. Sebelum memasuki Taman Sari, terdapat bangunan sebagai tempat istirahat Sultan. Memiliki arsitektur Jawa yang dipengaruhi gaya-gaya Portugis membuat Taman Sari penuh pesona. Jika melihat bagian paling depan, terdiri dari tembok-tembok besar yang mengelilingi Taman Sari. Itu diperuntukan sebagai pagar pembatas untuk menjaga kerahasiaan para kerabat kerajaan ketika sedang mandi. Menurut cerita, di tempat ini pula para selir kerajaan mandi dan ada satu tempat untuk Sultan melihat selir-selirnya itu melalui bilik. Ketika Sultan tertarik dengan salah satu selirnya, maka Sultan akan melemparkan sesuatu benda. Apabila benda tersebut tertangkap oleh sang selir, maka berbunga-bungalah hatinya, karena akan didatangi oleh Sultan di malam hari. Ke Yogya?? Siapa takut?!




No comments:

Post a Comment